Oleh : Agriani Stevany Kadiwanu
Berlindung di bawah pohon pala di samping sumur, aku nimbrung dengan seorang Ibu yang sedang mencuci pakaian. Cucian kotor menumpuk. Satu-satunya cara supaya aku kuat menghadapi tantangan mencuci baju kotor menumpuk menyebalkan dan membuat lelah jiwa ragaku itu ialah dengan cara bercerita dengan si ibu. Ada suatu kedekatan yang terjalin di antara sesama pencuci baju. Proximity. Kedekatan emosi.
Kami mulai bercerita kesana-kemari. Bukan berarti kami bercerita sambil kesana dan kemari. Pahamilah bahwa itu ungkapan. Jangan coba-coba bilang, “apa sih?” karena aku sedang ingin bercerita dengan cara yang menyebalkan. Si Ibu, yang bernama Ate (bukan nama sebenarnya) bercerita tentang anaknya dan bagaimana ia akan berusaha semampu mungkin agar anaknya bisa sekolah sampai tingkat tertinggi, atau minimal menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Aku akui, anaknya memang pintar. Anaknya terkenal pandai dan haus pengetahuan di kampung ini. Selain anak sulung yang kami bicarakan, kami juga ngobrol tentang anaknya yang kedua, laki-laki juga, dan masih berumur 5 tahun. Anak ini belum bersekolah, dan anak ini dekat denganku. Anaknya lucu dan sanguinis. Dia ceria dan tawanya yang melengking selalu dikumandangkan setiap kali dia gembira. Dia juga selalu punya banyak pertanyaan. Anak ini memang pandai, i can see it. Seperti bakat alam.
Setelah bercerita banyak, barulah aku tahu bahwa memang sejak di kandungan, anak ini sudah diperhatikan. Setiap bulan diperiksakan di dokter kandungan di Menado, karena kebetulan waktu itu sang ibu sedang di Menado. Ibunya juga memperhatikan kepenuhan nutrisi selama hamil, bahkan membeli vitamin untuk membantu perkembangan otak bayi dalam kandungan.
Dari pembicaraan kami di tepi sumur, aku juga mengetahui sesuatu tentang anak itu yang cukup membuatku terkejut.
“Enci, waktu itu, si Lixpe (bukan nama sebenarnya) ada dapat liat dos. Ada nama saya. Dia lalu datang dan bilang, mama, ini mama punya dos? Napa ini ada mama punya nama. Ini ada huruf T-A-E. Trus kita tanya, Lixpe sudah bisa membaca? Siapa ada ajar? Lalu dia bilang Enci ada ajar”
Aku terkejut dan reaksiku dan nada bicaraku seperti mendengar pernyataan cinta, “Masa? Lixpe sudah bisa membaca?” sambil menyentuh dada dengan tangan. Bergaya terkejut tapi cute.
Jujur, i have no idea! Aku Cuma mengajarinya beberapa kali. Menggunakan lagu ABCD-Z, dengan cara diulang-ulang bertahap. Setiap kenal 5 huruf, baru ditambah lagi. Sambil bermain menggunakan lagu itu. Sambil duduk-duduk kami nyanyikan bersama, sambil berjalan-jalan juga kami nyanyikan lagu itu sembari melompat-lompat. Kadang kusuruh Lixpe bermain dengan spidol, menuliskan huruf-huruf yang pernah kuajari. Tapi aku tak pernah menyangka bahwa dia belajar secepat itu. Anak yang luar biasa :)
Berlindung di bawah pohon pala di samping sumur, aku nimbrung dengan seorang Ibu yang sedang mencuci pakaian. Cucian kotor menumpuk. Satu-satunya cara supaya aku kuat menghadapi tantangan mencuci baju kotor menumpuk menyebalkan dan membuat lelah jiwa ragaku itu ialah dengan cara bercerita dengan si ibu. Ada suatu kedekatan yang terjalin di antara sesama pencuci baju. Proximity. Kedekatan emosi.
Kami mulai bercerita kesana-kemari. Bukan berarti kami bercerita sambil kesana dan kemari. Pahamilah bahwa itu ungkapan. Jangan coba-coba bilang, “apa sih?” karena aku sedang ingin bercerita dengan cara yang menyebalkan. Si Ibu, yang bernama Ate (bukan nama sebenarnya) bercerita tentang anaknya dan bagaimana ia akan berusaha semampu mungkin agar anaknya bisa sekolah sampai tingkat tertinggi, atau minimal menyelesaikan wajib belajar 12 tahun. Aku akui, anaknya memang pintar. Anaknya terkenal pandai dan haus pengetahuan di kampung ini. Selain anak sulung yang kami bicarakan, kami juga ngobrol tentang anaknya yang kedua, laki-laki juga, dan masih berumur 5 tahun. Anak ini belum bersekolah, dan anak ini dekat denganku. Anaknya lucu dan sanguinis. Dia ceria dan tawanya yang melengking selalu dikumandangkan setiap kali dia gembira. Dia juga selalu punya banyak pertanyaan. Anak ini memang pandai, i can see it. Seperti bakat alam.
Setelah bercerita banyak, barulah aku tahu bahwa memang sejak di kandungan, anak ini sudah diperhatikan. Setiap bulan diperiksakan di dokter kandungan di Menado, karena kebetulan waktu itu sang ibu sedang di Menado. Ibunya juga memperhatikan kepenuhan nutrisi selama hamil, bahkan membeli vitamin untuk membantu perkembangan otak bayi dalam kandungan.
Dari pembicaraan kami di tepi sumur, aku juga mengetahui sesuatu tentang anak itu yang cukup membuatku terkejut.
“Enci, waktu itu, si Lixpe (bukan nama sebenarnya) ada dapat liat dos. Ada nama saya. Dia lalu datang dan bilang, mama, ini mama punya dos? Napa ini ada mama punya nama. Ini ada huruf T-A-E. Trus kita tanya, Lixpe sudah bisa membaca? Siapa ada ajar? Lalu dia bilang Enci ada ajar”
Aku terkejut dan reaksiku dan nada bicaraku seperti mendengar pernyataan cinta, “Masa? Lixpe sudah bisa membaca?” sambil menyentuh dada dengan tangan. Bergaya terkejut tapi cute.
Jujur, i have no idea! Aku Cuma mengajarinya beberapa kali. Menggunakan lagu ABCD-Z, dengan cara diulang-ulang bertahap. Setiap kenal 5 huruf, baru ditambah lagi. Sambil bermain menggunakan lagu itu. Sambil duduk-duduk kami nyanyikan bersama, sambil berjalan-jalan juga kami nyanyikan lagu itu sembari melompat-lompat. Kadang kusuruh Lixpe bermain dengan spidol, menuliskan huruf-huruf yang pernah kuajari. Tapi aku tak pernah menyangka bahwa dia belajar secepat itu. Anak yang luar biasa :)
Comments
Post a Comment