Pada dasarnya manusia itu makhluk sosial. Jadi kalau ada orang yang bahagia dengan kesendiriannya, pasti ada kelainan dalam dirinya.
Beras yang ditanak menjadi nasi adalah hasil kerja orang lain, petani.
Ikan yang kita makan, hasil tangkapan nelayan.
Baju yang kita pakai, hasil jahitan orang lain.
Bahkan untuk hidup setiap hari kita juga butuh berbicara dengan orang lain.
Kalau ada yang suka ngomong sendiri, perlu dites kejiwaannya.
Hampir 11 bulan saya tinggal di Jakarta. Kota yang paling ramai se-Indonesia. Tapi tahukah kalian bahwa di kota yang ramai ini, saya justru mendapati diri saya menjadi orang yang kesepian. Sangat kesepian.
Hiburan yang bisa saya dapatkan hanya menonton film dan membaca. Tapi lama kelamaan semua itu juga jadi membosankan.
Saya adalah tipe orang yang tidak bisa hidup tanpa teman dan keluarga. Saya bisa hidup tanpa pacar tapi saya tidak bisa hidup tanpa teman dan keluarga. Bukan berarti saya tidak bisa merantau. Ini bukan kali pertama saya merantau ya. Selama 4,5 tahun saya tinggal di Surabaya, 1 tahun di Sangihe. Tapi hanya Jakarta yang membuat saya bosan dan kesepian. Mengapa?
Jakarta adalah kantung uang. Jakarta adalah pusat segalanya. Tetapi Jakarta membuatku terfokus pada kerja, kerja, kerja. Bahkan liburan pun mau tak mau harus bekerja. Jakarta seperti membeli hidupku. Tidak ada waktu untuk sekedar hang out dengan teman-teman. Tidak bisa mengenal tetangga rumah karena semua orang sibuk. Believe it or not, bahkan saya tidak kenal tetangga kamar di kost.
Pulang malam, begadang kerja tugas karena dateline, tertutup dari berbagai kegiatan sosial.
Hal yang sedikit banyak menolong hanya gereja dan komsel. I love my church and my cell group.
Mereka penetral hidupku yang individualis di Jakarta.
Kembali pada hakikat kita sebagai makhluk sosial, terutama saya yang tidak bisa hidup tanpa teman. Sadar atau tidak, saat ini saya dan mungkin beberapa dari kalian merasakan bahwa teman kita lebih banyak yang berwujud virtual. Teman fb,twitter,path,instag dll bisa ratusan bahkan ribuan, tetapi berapa banyak dari mereka yang benar-benar ada dan meluangkan waktu untuk bertemu secara langsung dengan kita? Saya yakin tidak banyak.
Jujur saya merindukan saat-saat berkumpul dengan teman di lapangan samping rumah, di teras, warung bakso, warkop, kampus, bercengkrama dengan tetangga di rumah maupun di tepi pantai (waktu di Sangihe, tinggalnya di tepi pantai). Saya juga merindukan masa-masa memberi pelajaran tambahan untuk anak-anak, berperahu dan memancing bersama mereka. Saya kangen duduk di depan TV bersama Bapa, bermain bersama kedua adik saya, berkumpul mengurus taman baca bersama teman di Sumba, makan di dermaga lama bersama sahabat, dan masih banyak lagi yang lainnya. SAYA BAHKAN KANGEN DIGIGIT KEPONAKAN yang kanibal.
How i miss my normal life. How i miss my family and friends. I have to end my individual life. I need to go back to normal so i can be human.
Comments
Post a Comment