Sembari menonton siaran tinju, saya berpikir mengapa di zaman secanggih ini masih ada saja olahraga sebrutal itu.
Melihat wajah atlitnya yang lebam-lebam hingga bengkak dan entah sudah berapa banyak rusuk yang retak, saya merasa tak tega. Pikiran saya melayang ke rumah dan apartemen para atlit tinju yang berlaga. Melihat kerutan cemas di wajah istri mereka. Melihat raut cemas dan rindu anak-anak yang menyaksikan siaran pertandingan ayahnya. Apakah esok ayah kan pulang? Seberapa parahkah lebamnya?
Apa serunya melihat sepasang manusia saling memukul?
Tinju, tujuan utamanya adalah mendapatkan poin dari setiap pukulan pada daerah tertentu, bukan seberapa parah hasil pukulannya bukan? Lalu mengapa harus dilakukan dengan begitu kasar? Mengapa panitia tidak memberikan alat pelindung agar mereka tak lebam? Yang penting kan sasaran pukulannya, bukan lebamnya.
Seandainya saja ada orang yang menciptakan pakaian khusus untuk pentinju yang terhubung dengan computer. Pada bagian-bagian yang memang harus mendapat poin, jika terkena pukulan maka poinnya otomatis masuk ke computer. Dengan demikian, lebam berkurang dan kecurangan bisa diatasi. Asyik sekali membayangkan baju tersebut diciptakan.
Bisa saya bayangkan betapa senang hati keluarga sang petinju. Mereka akan menonton pertandingan suami dan ayah mereka tanpa raut cemas dan hati ketar ketir. Mereka dapat yakin bahwa esok, suami dan ayah mereka akan pulang dengan tubuh sehat dan bugar.
Comments
Post a Comment