“Mbak, tanggal 31 hari apa mbak?” dengan suara yang nyaring si supir angkot bertanya pada seorang ibu yang duduk di sampingnya di kursi depan. Dengan ogah-ogahan si ibu menjawab,”hari jumat minggu depan.” Mendengar dan melihat dialog itu, hati saya terenyuh sekaligus BT. Mengapa? Karena sang ibu yang terlihat ogah untuk menjawab sang supir (hanya karena dia seorang supir) dan juga karena sang supir yang pertanyaannya gak penting banget.
Saya pribadi, dibesarkan di sebuah keluarga yang memulai usaha dari nol. Kami pernah merasakan sulitnya hidup. Berkat kasih karunia Tuhan, usaha demi usaha yang dilakukan Mama (Alm) dan Bapa dapat berjalan dengan lancar dan membawa kesejahteraan dalam keluarga kami. Kami bukan orang kaya, tapi apa yang kami butuhkan tercukupi pada waktu itu.
Dulu, Mama saya berjualan cemilan untuk anak-anak karena kebetulan ia bekerja sebagai guru SD. Bapa saya memiliki sebuah zero, yaitu alat penangkap ikan dalam jumlah yang banyak. Kami menjual hasil laut dalam jumlah yang sangat banyak. Berkarung-karung. Bisa dibayangkan rumah saya tiap hari ada berbagai jenis ikan laut, udang, kepiting, cumi, gurita, kerang,dll. Bagi penyuka sea food, rumah saya adalah surga. Selain itu, Bapa yang sebenarnya adalah seorang PNS (Kepala bagian keuangan) juga memiliki usaha angkutan umum. Kalau yang ini kadang bikin jengkel karena mobilnya sering ngambek. Maklum, mobil bekas.
Hidup dengan beberapa usaha sekaligus tentunya di rumah kami menggunakan jasa pekerja yang membantu seperti pembantu, supir dan kenek, dan penjual hasil ikan kami. Mama dan Bapa mendidik kami anak-anaknya untuk menghormati mereka. Mereka gak boleh kami bentak-bentak, hina-hina, apalagi disuruh-suruh yang gak penting. Kalau sampai ketahuan, bisa MATI! Dan yang saya salut dengan orang tua saya, karena hampir semua yang bekerja di keluarga kami masih muda, mereka memanggil orang tua saya dengan sebutan yang sama sepeti kami anak kandung, Mama dan Bapa.
Kami tumbuh besar dengan bergaul bersama mereka. Mereka menjadi teman masa kecil kami sekaligus kakak kami. Tak jarang, ketika Bapa sibuk dan tak bisa mengantar atau menjemput kami ke sekolah, mereka yang menggantikan. Kadang, ada yang membantu kami mengerjakan PR. Hahahahaha….
Saya masih ingat, dulu ada supir kami yang bernama Yos. Masih muda, sekitar 20 tahun, berperawakan tampan. Karena sekolahnya cukup tinggi dibandingkan supir rata-rata, dia lulus SMA, dia sering membantu mengerjakan PR saya. Trus, ada kenek namanya Frengki, dia sekarang sudah menikah dan punya seorang anak yang lucu. Dulu saya sering ngusilin dia. Di siang hari, pada waktu mereka istirahat setelah makan bersama, dia suka tidur dalam bemo. Saya biasanya akan mengambil rumput liar kemudian menggelitiki telinga atau wajahnya dengan rumput itu dan kabur.
Tumbuh bersama mereka membuat saya dan adik-adik jadi mengerti satu hal. Meskipun mereka terlihat sangar wajahnya (kayak preman), suka mengucapkan kata-kata kotor (memaki orang misalnya waktu sebal menonton tinju), tetapi mereka sangat baik hati. Mereka sangat sopan asalkan kita juga menghargai mereka.
Melihat sikap sang ibu yang pada awal kisah ini terlihat ogah terhadap sang supir membuat saya mensyukuri hidup saya dulu. Untung saya hidup bersama para supir dan pekerja lainnya, jadi saya tidak bersikap seperti sang ibu. Mereka baik kok. Sekarang usaha itu semua tidak ada lagi di rumah. Roda kehidupan terus berputar. Mama udah meninggal, zero udah dijual. Bemo sekarang dipakai untuk mengangkut hasil panen dari sawah. Ini usaha baru Bapa. Tapi saya tetap bersyukur dengan apa yang ada. Yang penting, saya masih punya Bapa dan adik-adik saya, itu sudah cukup.
Saya pribadi, dibesarkan di sebuah keluarga yang memulai usaha dari nol. Kami pernah merasakan sulitnya hidup. Berkat kasih karunia Tuhan, usaha demi usaha yang dilakukan Mama (Alm) dan Bapa dapat berjalan dengan lancar dan membawa kesejahteraan dalam keluarga kami. Kami bukan orang kaya, tapi apa yang kami butuhkan tercukupi pada waktu itu.
Dulu, Mama saya berjualan cemilan untuk anak-anak karena kebetulan ia bekerja sebagai guru SD. Bapa saya memiliki sebuah zero, yaitu alat penangkap ikan dalam jumlah yang banyak. Kami menjual hasil laut dalam jumlah yang sangat banyak. Berkarung-karung. Bisa dibayangkan rumah saya tiap hari ada berbagai jenis ikan laut, udang, kepiting, cumi, gurita, kerang,dll. Bagi penyuka sea food, rumah saya adalah surga. Selain itu, Bapa yang sebenarnya adalah seorang PNS (Kepala bagian keuangan) juga memiliki usaha angkutan umum. Kalau yang ini kadang bikin jengkel karena mobilnya sering ngambek. Maklum, mobil bekas.
Hidup dengan beberapa usaha sekaligus tentunya di rumah kami menggunakan jasa pekerja yang membantu seperti pembantu, supir dan kenek, dan penjual hasil ikan kami. Mama dan Bapa mendidik kami anak-anaknya untuk menghormati mereka. Mereka gak boleh kami bentak-bentak, hina-hina, apalagi disuruh-suruh yang gak penting. Kalau sampai ketahuan, bisa MATI! Dan yang saya salut dengan orang tua saya, karena hampir semua yang bekerja di keluarga kami masih muda, mereka memanggil orang tua saya dengan sebutan yang sama sepeti kami anak kandung, Mama dan Bapa.
Kami tumbuh besar dengan bergaul bersama mereka. Mereka menjadi teman masa kecil kami sekaligus kakak kami. Tak jarang, ketika Bapa sibuk dan tak bisa mengantar atau menjemput kami ke sekolah, mereka yang menggantikan. Kadang, ada yang membantu kami mengerjakan PR. Hahahahaha….
Saya masih ingat, dulu ada supir kami yang bernama Yos. Masih muda, sekitar 20 tahun, berperawakan tampan. Karena sekolahnya cukup tinggi dibandingkan supir rata-rata, dia lulus SMA, dia sering membantu mengerjakan PR saya. Trus, ada kenek namanya Frengki, dia sekarang sudah menikah dan punya seorang anak yang lucu. Dulu saya sering ngusilin dia. Di siang hari, pada waktu mereka istirahat setelah makan bersama, dia suka tidur dalam bemo. Saya biasanya akan mengambil rumput liar kemudian menggelitiki telinga atau wajahnya dengan rumput itu dan kabur.
Tumbuh bersama mereka membuat saya dan adik-adik jadi mengerti satu hal. Meskipun mereka terlihat sangar wajahnya (kayak preman), suka mengucapkan kata-kata kotor (memaki orang misalnya waktu sebal menonton tinju), tetapi mereka sangat baik hati. Mereka sangat sopan asalkan kita juga menghargai mereka.
Melihat sikap sang ibu yang pada awal kisah ini terlihat ogah terhadap sang supir membuat saya mensyukuri hidup saya dulu. Untung saya hidup bersama para supir dan pekerja lainnya, jadi saya tidak bersikap seperti sang ibu. Mereka baik kok. Sekarang usaha itu semua tidak ada lagi di rumah. Roda kehidupan terus berputar. Mama udah meninggal, zero udah dijual. Bemo sekarang dipakai untuk mengangkut hasil panen dari sawah. Ini usaha baru Bapa. Tapi saya tetap bersyukur dengan apa yang ada. Yang penting, saya masih punya Bapa dan adik-adik saya, itu sudah cukup.
Comments
Post a Comment