pict : google
Orang yang tidak tepat waktu ibarat orang yang tak
menghargai hidup. Sudah dikasih gratis sama Tuhan, masih juga dibuang-buang.
Apa mungkin karena gratis itu ya? Tapi cobalah dipikir. Jika waktu dan hidup
mesti dibayar, sanggupkah kita? Karena hidup dan waktu pasti akan sangat mahal
harganya, tak seperti harga sepotong tempe yang hanya Rp.5000 di pasar.
Waktu sangat berharga bagi saya. Terkadang saya merasa sesak
atau sebal dengan orang-orang yang tak menghargai waktu. Jika yang berlalu
adalah waktumu, tak masalah. Asal jangan kau buang waktuku. Egois? Bukan. Saya
hanya tidak ingin terseret kebiasaan orang lain. Beda halnya dengan telat
karena cuaca atau kecelakaan di tengah jalan.
Semua ini bermula sejak saya kecil hingga remaja. Orang tua
saya adalah orang yang sangat tepat waktu. Jam 7 sekolah, jam 6.30 sudah harus
ada di Sekolah. Jika di undangan tertulis Jam 7 malam acaranya, maka sebelum
jam 7 kami sudah berangkat dari rumah. Kami dibiasakan untuk tepat waktu. Dari
buku-buku yang kubaca serta film yang kutonton pun sebagian besar mengajarkan
pentingnya menghargai waktu. Hal ini terbawa hingga kuliah. Kuliah pukul 8,
maka 15 menit sebelum pukul 8 saya sudah di kelas. Seperti biasa, kelas itu
selalu kosong saat saya memasukinya. Semua pengalaman ini terbawa hingga saat
ini.
Saya pernah dinasehati oleh seorang Paman saya di Jakarta,
kebetulan ia adalah seorang konsultan IT yg sering bekerjasama dengan
perusahaan-perusahaan besar dari luar negeri (Om Johnie Manukoa) :
“Van, kalau bekerja
dengan orang luar, usahakan selalu tepat waktu karena mereka tidak suka jam
karet. Usahakan kamu yang menunggu, bukan mereka yang menunggu.”
Saya ingin ini diterapkan juga ketika saya bekerja dengan
orang Indonesia, bukan hanya ketika berurusan dengan orang luar negeri.
Mari budayakan tepat waktu. Karena kita tidak tahu sampai
kapan kita hidup.
Comments
Post a Comment