Kalau kamu harus memilih antara cita-cita dan keluarga? Yang mana yang akan kamu pilih? Kata Pendeta dan Pemimpin saya di Gereja, kita manusia harus cari tahu apa maunya Tuhan. Tapi sulit bagi saya untuk mencari tahu dan saya tidak punya banyak waktu untuk menunggu.
Menulis sudah jadi bagian diri saya yang ga mungkin dilepasin gitu aja. Beberapa tulisaanku, walaupun bukan tulisan hebat, telah dimuat di beberapa media cetak. Dan saya ingin mengejar prestasi yang lebih lagi. Ibarat rumah, fondasi saya bahkan belum selesai dibangun. Tapi saya sudah dihadapkan pada kenyataan, bahwa saya harus memilih meneruskan membangun fondasi itu atau berhenti dan tinggal di rumah tua yang butuh perawatan. Dan rumah tua ini adalah orang tua saya sendiri. Sorry kalau perumpamaan saya agak ga nyambung. Tapi saya yakin kalian ngerti maksud saya.
Intinya, temen-temen semuaaaaaaaaaaaaa… saya sedang dilema berat!!! Lebih berat dari Dawiyah, tronton, kereta barang, atau apa pun di dunia ini menurut saya. Saya yakin hal ini akan kalian alami atau mungkin sudah kalian alami juga T.T
Saat ini, saya kan sudah semester akhir, trus lagi skripsi pula. Saya tuh bingung, setelah lulus nanti mau tetap di Surabaya dan mencari jalan berkarir di dunia tulis-menulis atau pulang kampung. “Halah, ngapain pulang kampung?” pasti kalian mikirnya kurang lebih kayak gitu. Ini pertimbangannya hidup dan mati nih. Masalahnya, Bapa saya tuh udah pensiun, udah 50an tahun lebih. Adik saya yang nomor dua mau kuliah di Malang, kita sekeluarga butuh duit.
Tahu nasib apa yang bakal menanti saya kalau pulang kampung? Jadi PNS itu sudah pasti. Lalu, bantu Bapa urusin sawah, bantuin di peternakan puyuh dan ayam pedaging yang baru di dijalaninya. Itu artinya, saya ga mungkin bisa jadi penulis lagi seperti apa yang saya impikan selama ini. Lalu apa arti kuliah 4 tahun yang saya jalani? Saya ingin sesuatu yang beda, namun keadaan tidak mendukung saya untuk itu. How I hate this condition.
Banyak orang bilang, “serahkan sama Tuhan.” Mudah bagi mereka mengatakan itu ketika mereka hidup bermandikan uang dan tidak berada di posisi saya. Bukan berarti saya ga percaya Tuhan, tapi saya benci sama orang yang ngomong tapi ga ngerti apa-apa tentang keadaan saya.
Sebenarnya saya bisa saja bersikeras tetap di Surabaya atau bahkan ke Jakarta dan mengejar mimpi saya, tanpa harus mikirin orang rumah. Toh, kalau berhasil mereka juga yang senang! Tapi ga bisa! Saya anak sulung, saya punya tanggungan 2 orang adik. Saya juga ingin berbakti sama Bapa saya. Selama saya kuliah, dia telah memberikan segala yang terbaik buat saya. Sejak masa jayanya hingga masa surutnya perekonomian Keluarga. Sekarang, di masa tuanya saya ingin sekali dia beristirahat di rumah. Duduk-duduk dan biarkan saya yang mengurus segalanya. Ya Tuhan! Apa lagi yang bisa saya lakukan untuk menyenangkan dia selain memberinya kenyamanan?
Oh ya! Jangan pernah membayangkan sosok pria yang baik hati dan murah senyum sebagai Bapa saya. Bapa saya orang paling keras dan disiplin yang pernah saya temui. Dia menggunakan kakinya untuk ‘menegur’ saya. Sabuk untuk ‘merangkul’ saya ketika saya membantah. Tapi saya bersyukur dengan semua didikannya. Karena itulah tanda kasihnya.
Saya yakin, Bapa saya, atau orang tua manapun di dunia ini ga akan pernah menuntut balasan atas segala yang telah mereka berikan kepada anaknya. Their love is for free! Dan walaupun ga bisa memberikan sebanyak yang Bapa saya telah berikan, ingin sekali rasanya membalas kasih dan cintanya.
Saya tidak mengeluhkan jatuh bangun keuangan yang terjadi dalam keluarga saya. Yang saya sesali adalah saya tidak punya kesempatan untuk merubah itu sesuai cara yang saya mau. Ingin rasanya teriak, nangis! Tapi saya ga punya tempat. Ketika masih di Sumba dulu, saya selalu ke pantai atau paling ga ke pelabuhan ketika sedih atau marah. Di Surabaya, saya ga punya tempat mengadu.
Teman? Jangan pikir saya ga punya teman gitu laaaaaaah… punya kok, punyaaa… Hanya saja, mereka bukan sosok yang saya bisa percaya. Mungkin saya perfeksionis dalam persahabatan? Bisa jadi. Sebab ga ada satu manusia pun di dunia ini yang saya percaya. Saya ga mungkin membicarakan masalah seperti ini sama teman-teman saya yang mungkin ga peduli juga ma hal ini. Dan ga penting juga bagi saya untuk berbagi dengan mereka. Mereka toh ga bisa bantu saya. Jadi, ibarat membuang garam di laut.
Satu-satunya hal yang bisa bikin saya lega saat ini adalah menulis. Yah, bisa dibilang semacam terapi khusus buat orang yang ga kesampaian cita-citanya jadi penulis. Tapi, saya sempat berpikir mungkin saya bisa bekerja sambil tetap aktif menulis nanti. Tapi, apakah mungkin? Di Sumba tak ada media cetak bahkan distributornya pun langka. Bagaimana saya bisa punya kontak dengan majalah atau pun penerbit?
Sepertinya, saya ga perlu jawaban harus milih apa untuk masa depan saya ya? Jawabannya sudah pasti. Sudah digariskan sejak saya lahir sebagai Agriani Stevany Kadiwanu, anak sulung dari keluarga yang biasa-biasa saja dan menjalani hidup yang biasa demi keluarga. Parah! Padahal, deep in my heart I wanna be different, I wanna be more than just enough. Saya ingin sukses dengan cara saya dan meraih SE-GA-LA-NYA dan menyenangkan SE-MUA-NYA… But life must go on and I have to see the reality.
P.S. ga ada yang mustahil van.. Eh kapan2 ngobrol yuk tentang passion dalam hal menulis...
ReplyDeleteMungkin bisa jadi good news buat kamu.. :)
hai van.. baru tau aku kalo km ada blog.. dan itu template blog ku yang dulu loh.. :D
ReplyDelete*oya ini valen, btw..
well.. ak memang g pernah berada dalam kondisi kyk km.. tp kurang lebih pergumulan yg km rasain antara berbakti kpd ortu atau mengejar mimpi itu ak jg sempet rasain kok van....
apapun langkah yg bakal km ambil selepas km lulus, jangan pernah lepaskan mimpi/ visi/ potensi yg udah Tuhan taruh dalam hidupmu van.. Tetep asah dan percaya deh, someday semua proses 'perbelokan' dari cita2mu yg sekarang seakan g ada artinya, itu ternyata bakalan membentuk kita jadi seorang pribadi yang ga terduga!
valen, thanks dah mampir len...
ReplyDeletekamu tau len saya tuh sukaaaaaaaaaaa sekali menulis...selain hobi, saya juga suka, cinta, pokoknya sama kayak orang sayang sama pacarnya dah gitu...tapi posisiku yang ga mengenakkan...kamu tau, setelah aku pulang, aku bakal tes beasiswa kedokteran kalau ga mau tinggal di sumba dengan keadaan yang ga aku suka....ayo len kapan2 sharing yuk...sesama anak jurnalistik pasti bisa saling mengerti...orang lain mana bisa ngerti passion kita di bidang ini T.T