Saat ini, buatku keluarga nomor satu dan mereka ada dalam rancangan masa depanku. Jika ada yang mengatakan keluarga adalah hambatan bagiku, mereka salah. Keluarga adalah motivasi terbesarku.
Mungkin tidak banyak dari kalian yang mengetahui latar belakang keluarga saya. Mungkin juga bukan hal yg penting untuk diketahui oleh kalian. Tapi jika kalian terus membaca artikel ini, izinkan saya membagikan kisahku. Saya lahir di keluarga PNS. Bapa saya seorang PNS di Pertanahan dan Almh. Mama saya adalah seorang guru PNS.
Kami tinggal di rumah yang terus mengalami perombakan. Jika melihat foto lama, pada masa awal, rumah kami hanyalah sebuah ruangan berukuran 3x3, dindingnya dari anyaman bambu (gedhek), berlantaikan tanah.
Seiring dengan berjalannya waktu, rumah kami diperbaharui menjadi rumah berbatu bata merah dengan lantai semen. Beberapa tahun kemudian barulah di plester dengan tembok.
Tidak banyak barang yang kami miliki. Bahkan sofa merupakan barang mewah bagi kami. Tapi kami bahagia. Saluran TV kami hanya TVRI danTPI. Hanya orang kaya yang punya parabola yang dapat menangkap siaran TV swasta. Seringkali saya pulang hingga larut malam karena menonton televisi di rumah orang lain. Beberapa tahun kemudian, Bapa membeli parabola. Saya merasakan kemewahan untuk pertama kalinya.
Kebutuhan semakin banyak. Bapa dan Mama adalah orang yang mengajarkan padaku arti bekerja keras dan jujur. Untuk membantu keuangan keluarga, selain menjadi guru, Mama juga berjualan di sekolah. Kerupuk, keripik, kacang, jagung, Astor, apa saja dijual. Kisah ini yang paling saya ingat:
"Ma, kasih saya Astor kah. Satu saja."
"Itu jualan Vany. Kalau kau ambil satu trus Viny juga pasti minta. Trus kau minta-minta terus. Dapat untung dari mana sudah? Ini juga buat cari kamu punya uang jajan di sekolah. Kalau mau, beli."
Saya harus membeli dari Mama saya, karena itu jualan.
Saya bersyukur telah diajarkan bagaimana membedakan bisnis dan keluarga.
Mama dan Bapa kemudian membeli sebuah kulkas. Saya merasa semakin kaya. Hanya dengan memiliki kulkas, saya merasa status sosial kami naik. Hahaha... Saat itu, kami berjualan es. Mulai dari es batu, sampai berbagai es manis yang dijual di sekolah mama, di rumah kami sendiri, dan oleh orang yang dibayar. Jualan kami laku keras. Permintaan semakin banyak. Kami serumah setiap siang sampai sore sibuk meramu adonan es dan membungkusnya. Seluruh kulkas penuh dengan es. Itu adalah masa-masa paling menyenangkan. Saya sangat menikmati bekerja di rumah membantu mengikat es.
Oh ya, meski demikian, saya tetap tidak boleh ambil es tanpa izin untuk dimakan sendiri. Saya harus menunggu hasil sisa penjualan. Kalau mau ambil sebelum tutup hari, saya harus bayar. Uang jajan saya pada jaman SD hanya Rp. 200, SMP Rp. 500, SMA Rp. 2000. Banyak kisah. Tapi hari ini saya hanya ingin membagikan tentang semangat kerja keras.
Usaha orang tua saya melebar lagi. Bapa membeli sebuah mikrolet bekas, di Sumba sebutannya bemo. Benda itu masih ada sampai sekarang. Meski hanya dipakai untuk kepentingan pribadi. Usaha bemo ini lumayan banyak membantu kehidupan ekonomi kami pada awalnya. Saya belajar mengenal berbagai macam orang pun dari usaha ini. Banyak orang datang dan pergi. Rumah kami selalu ramai. Semua supir dan kenek bahkan teman-teman mereka yang ikut ke rumah makan semeja dengan kami dan memanggil orang tuaku dengan sebutan Bapa dan Mama. Kami punya pembantu di rumah, tetapi kami tidak diperbolehkan memerintah seenaknya dan bersikap tidak hormat. Saat itu sangat bahagia. Saya merindukan mereka semua.
Beberapa waktu kemudian, Bapa membeli sero di Pantai Mondu. Sero adalah alat penangkap ikan yang ditanam di tengah laut. Pada saat air surut, segala macam hewat laut akan terjaring dan diangkut ke daratan. Rumah saya penuh dengan seafood. Kepiting, udang, cumi, kerang, ikan, dll. Saat itu kami makmur. Kami berjualan hasil laut.
Kadang saya iri dengan teman dan saudara saya yang begitu gampang mendapatkan uang dari orangtua mereka pada waktu itu. Sedangkan saya, harus ada alasan kuat untuk mendapatkan uang dari orang tua. Tetapi sekarang saya bersyukur atas didikan mereka.
Poin lain tentang bekerja yang diajarkan orangtua saya adalah mengenai relasi dengan teman. Bekerja tidak hanya mengenai mencari uang tetapi juga berelasi. Saya dulu paling tidak suka menghadiri pesta ulang tahun teman atau acara apa pun itu. Saya lebih suka di rumah, main dengan teman-teman di sekitar rumah atau baca buku.
Saat itu saya Masih SMP. Mama saya sampai 'menyogok' saya dengan baju-baju baru demi saya pergi ke acara-acara pesta tersebut. Mulailah saya menghadiri pesta ultah teman dengan motivasi untuk mendapatkan baju baru. Tetapi sekarang saya bersyukur atas semua itu, karena saya jadi mengenal banyak teman dan meski sudah jarang bertemu tetapi masih memiliki relasi yang baik dengan mereka.
Kehidupan terus berjalan, roda berputar, manusia tidak selalu berada pada kemakmuran. 5 Januari 2006, Mama meninggal. Kepergiannya tidak hanya membuat rumah terasa berbeda tetapi secara perekonomian juga berubah. Bapa, melewati masa sulit. Saya rasa kami semua begitu. Tapi Tuhan tidak pernah meninggalkan kami. Ia selalu mencukupi kebutuhan kami. Saya dan Viny mendapatkan beasiswa. Saya 100% sampai lulus. Viny mendapat dua semester, dan saya selalu mendapatkan pekerjaan yang dapat membantu membayar uang kuliah adik saya. Kini saya juga sedang giat menabung untuk biaya kuliah adik saya yang bungsu, JC. Saya belum punya tabungan untuk diri saya sendiri, tetapi tidak masalah. Begitu saya berpindah pada pekerjaan berikutnya, saya akan mulai berinvestasi untuk tabungan masa depan saya. Life is beautiful. I am thank God for all the things i've been going through. Thanks God.
Mungkin tidak banyak dari kalian yang mengetahui latar belakang keluarga saya. Mungkin juga bukan hal yg penting untuk diketahui oleh kalian. Tapi jika kalian terus membaca artikel ini, izinkan saya membagikan kisahku. Saya lahir di keluarga PNS. Bapa saya seorang PNS di Pertanahan dan Almh. Mama saya adalah seorang guru PNS.
Kami tinggal di rumah yang terus mengalami perombakan. Jika melihat foto lama, pada masa awal, rumah kami hanyalah sebuah ruangan berukuran 3x3, dindingnya dari anyaman bambu (gedhek), berlantaikan tanah.
Seiring dengan berjalannya waktu, rumah kami diperbaharui menjadi rumah berbatu bata merah dengan lantai semen. Beberapa tahun kemudian barulah di plester dengan tembok.
Tidak banyak barang yang kami miliki. Bahkan sofa merupakan barang mewah bagi kami. Tapi kami bahagia. Saluran TV kami hanya TVRI danTPI. Hanya orang kaya yang punya parabola yang dapat menangkap siaran TV swasta. Seringkali saya pulang hingga larut malam karena menonton televisi di rumah orang lain. Beberapa tahun kemudian, Bapa membeli parabola. Saya merasakan kemewahan untuk pertama kalinya.
Kebutuhan semakin banyak. Bapa dan Mama adalah orang yang mengajarkan padaku arti bekerja keras dan jujur. Untuk membantu keuangan keluarga, selain menjadi guru, Mama juga berjualan di sekolah. Kerupuk, keripik, kacang, jagung, Astor, apa saja dijual. Kisah ini yang paling saya ingat:
"Ma, kasih saya Astor kah. Satu saja."
"Itu jualan Vany. Kalau kau ambil satu trus Viny juga pasti minta. Trus kau minta-minta terus. Dapat untung dari mana sudah? Ini juga buat cari kamu punya uang jajan di sekolah. Kalau mau, beli."
Saya harus membeli dari Mama saya, karena itu jualan.
Saya bersyukur telah diajarkan bagaimana membedakan bisnis dan keluarga.
Mama dan Bapa kemudian membeli sebuah kulkas. Saya merasa semakin kaya. Hanya dengan memiliki kulkas, saya merasa status sosial kami naik. Hahaha... Saat itu, kami berjualan es. Mulai dari es batu, sampai berbagai es manis yang dijual di sekolah mama, di rumah kami sendiri, dan oleh orang yang dibayar. Jualan kami laku keras. Permintaan semakin banyak. Kami serumah setiap siang sampai sore sibuk meramu adonan es dan membungkusnya. Seluruh kulkas penuh dengan es. Itu adalah masa-masa paling menyenangkan. Saya sangat menikmati bekerja di rumah membantu mengikat es.
Oh ya, meski demikian, saya tetap tidak boleh ambil es tanpa izin untuk dimakan sendiri. Saya harus menunggu hasil sisa penjualan. Kalau mau ambil sebelum tutup hari, saya harus bayar. Uang jajan saya pada jaman SD hanya Rp. 200, SMP Rp. 500, SMA Rp. 2000. Banyak kisah. Tapi hari ini saya hanya ingin membagikan tentang semangat kerja keras.
Usaha orang tua saya melebar lagi. Bapa membeli sebuah mikrolet bekas, di Sumba sebutannya bemo. Benda itu masih ada sampai sekarang. Meski hanya dipakai untuk kepentingan pribadi. Usaha bemo ini lumayan banyak membantu kehidupan ekonomi kami pada awalnya. Saya belajar mengenal berbagai macam orang pun dari usaha ini. Banyak orang datang dan pergi. Rumah kami selalu ramai. Semua supir dan kenek bahkan teman-teman mereka yang ikut ke rumah makan semeja dengan kami dan memanggil orang tuaku dengan sebutan Bapa dan Mama. Kami punya pembantu di rumah, tetapi kami tidak diperbolehkan memerintah seenaknya dan bersikap tidak hormat. Saat itu sangat bahagia. Saya merindukan mereka semua.
Beberapa waktu kemudian, Bapa membeli sero di Pantai Mondu. Sero adalah alat penangkap ikan yang ditanam di tengah laut. Pada saat air surut, segala macam hewat laut akan terjaring dan diangkut ke daratan. Rumah saya penuh dengan seafood. Kepiting, udang, cumi, kerang, ikan, dll. Saat itu kami makmur. Kami berjualan hasil laut.
Kadang saya iri dengan teman dan saudara saya yang begitu gampang mendapatkan uang dari orangtua mereka pada waktu itu. Sedangkan saya, harus ada alasan kuat untuk mendapatkan uang dari orang tua. Tetapi sekarang saya bersyukur atas didikan mereka.
Poin lain tentang bekerja yang diajarkan orangtua saya adalah mengenai relasi dengan teman. Bekerja tidak hanya mengenai mencari uang tetapi juga berelasi. Saya dulu paling tidak suka menghadiri pesta ulang tahun teman atau acara apa pun itu. Saya lebih suka di rumah, main dengan teman-teman di sekitar rumah atau baca buku.
Saat itu saya Masih SMP. Mama saya sampai 'menyogok' saya dengan baju-baju baru demi saya pergi ke acara-acara pesta tersebut. Mulailah saya menghadiri pesta ultah teman dengan motivasi untuk mendapatkan baju baru. Tetapi sekarang saya bersyukur atas semua itu, karena saya jadi mengenal banyak teman dan meski sudah jarang bertemu tetapi masih memiliki relasi yang baik dengan mereka.
Kehidupan terus berjalan, roda berputar, manusia tidak selalu berada pada kemakmuran. 5 Januari 2006, Mama meninggal. Kepergiannya tidak hanya membuat rumah terasa berbeda tetapi secara perekonomian juga berubah. Bapa, melewati masa sulit. Saya rasa kami semua begitu. Tapi Tuhan tidak pernah meninggalkan kami. Ia selalu mencukupi kebutuhan kami. Saya dan Viny mendapatkan beasiswa. Saya 100% sampai lulus. Viny mendapat dua semester, dan saya selalu mendapatkan pekerjaan yang dapat membantu membayar uang kuliah adik saya. Kini saya juga sedang giat menabung untuk biaya kuliah adik saya yang bungsu, JC. Saya belum punya tabungan untuk diri saya sendiri, tetapi tidak masalah. Begitu saya berpindah pada pekerjaan berikutnya, saya akan mulai berinvestasi untuk tabungan masa depan saya. Life is beautiful. I am thank God for all the things i've been going through. Thanks God.
jujur van... kalo membaca tulisan ini dan membandingkan vani yang saya kenal hari ini,
ReplyDeletesaya salut Van,
sori kalo berlebihan