Sepi...
Cuitan burung yang bahkan tidak kuketahui jenisnya jelas
terdengar. Lalu lalang kendaraan di depan rumah sudah menjadi soundtrack hidupku akhir-akhir ini. Sesekali ada
satu dua lalat berseliweran di depanku. Terang saja, aku menulis sembari duduk
dekat tempat sampah di rumahku. Pojok favoritku. Jangan tanya mengapa.
Tidak banyak yang bisa kulakukan dalam satu hari. Setelah
bangun pagi, merebus ubi atau menggoreng pisang untuk sarapan, merajang air
untuk termos, tidak ada hal lain yang perlu kulakukan. Aku hanya tinggal
menunggu jam untuk memasak makan siang, mandi, masak makan malam. Mencuci? Hal
itu bisa kulakukan di hari sabtu atau minggu tanpa peluh. Ya, begitu menikah,
aku dan suami membeli berbagai keperluan salah satunya mesin cuci. Aku tinggal
memasukkan deterjen dan pewangi di tempatnya masing-masing, memasukkan pakaian
kotor, menekan tombol lalu berleha-leha menunggu waktunya baju
diangin-anginkan. Pekerjaan lainnya, jika ada, tidak perlu kukerjakan, karena
ada seorang mahasiswa dari kampung suamiku tinggal bersama kami. Dia membantu
mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah.
Hal ini sangat berbeda dengan apa yang kujalani saat masih
di tanah Marapu. Pukul enam pagi, aku mandi bersiap ke sekolah untuk mengajar.
Sepulang sekolah ke pasar, masak, tidur siang. Sorenya membuka taman baca atau
berkegiatan dengan kawan-kawan. Selalu ada yang bisa dikerjakaan di sana.
Banyak link dan jejaring yang selalu mengajakku berkegiatan, belum lagi tugas
sebagai guru yang semakin banyak. Terkadang, sehari tak cukup buatku.
Aku tidak bermaksud mengeluhkan kehidupanku yang sekarang di
ibukota provinsi NTT ini. Aku hanya merasa perantauan kali ini berbeda dengan
perantauanku sebelumnya di Surabaya, Sangihe bahkan Jakarta. Aku tetap
bersyukur memiliki suami dan keluarga baru yang sangat baik. Bahkan, sebagai
pasangan muda, aku bersyukur sudah tinggal mandiri dengan suami di rumah yang
dibangunnya sebelum kami menikah. Rumah yang menurut mertuaku seharga 1,5 M
biaya pembangunannya. Pernah kau bayangkan uang sebanyak itu? Punya rumah
gubukpun aku bersyukur asal hidupku bersama dia. Sahabat yang kini menjadi
suamiku. Aku tidak berhak mengeluhkan hidupku saat ini.
Tapi benar ternyata apa yang dikatakan orang-orang di
televisi dan buku. Hidup sendiri di rumah besar seperti ini sepi. 6 bulan lagi
tentu tidak akan sepi dengan kehadiran buah hati kami. Namun untuk sekarang,
aku yang terbiasa berada di tengah-tengah keluarga besar yang ramai, merasakan
kesepian sembari menunggu suami pulang kantor. Terkadang aku merasa seperti
perempuan gila yang berbicara sendiri dengan jabang bayi di perutku, atau
anjing peliharaanku.
16.43 biasanya ini sudah mendekati jam pulang kantor
suamiku. Namun hari ini ia berencana pergi ke barber shop sebelum pulang ke
rumah. Itu artinya, ia akan lebih lama pulang daripada biasanya.
Sepi
Sebenarnya ingin aku mencari pekerjaan baru di sini. Tapi
dalam keadaan hamil seperti ini, kurasa kurang bijaksana. Belum lagi, masalah
lainnya adalah, aku tidak ingin menjadi guru lagi. Meskipun aku tahu,
kemampuanku sangat baik di bidang itu. Sekolah sebelumnya membuatku cukup
trauma berada dalam organisasi pendidikan. Hal ini akan kuceritakan di lain
waktu.
Sepi
Comments
Post a Comment