Jika ditanya, lebih susah mana, lajang
, jadi wanita karir di kota besar atau kota kecil? Jawaban saya sudah pasti
jadi wanita single di kota kecil.
Ah, masa sih? Bukannya wanita lajang di kota kecil
itu hidupnya gitu-gitu aja ya? Kurang berkontribusi pada dunia, kurang
menantang, hidupnya lempeng-lempeng aja. Ya ampun, helaaawwww... Coba setahun
aja situ tukar jiwa sama saya. Mungkin dikau akan menampar dirimu sendiri
setelah tahu kenyataan di lapangan.
Supaya kalian paham ya, tantangan wanita kota kecil itu seperti apa,
saya coba pakai diri saya sebagai ilustrasi nyata ya.
Nama saya Vany, usia 29 tahun, lajang, seorang
pengajar sekolah dasar, gaji UMR. Saya sudah berpengalaman menjadi gadis
perbatasan selama setahun, menjadi gadis metropolitan kurang lebih 6 tahun, dan
sekarang kembali ke kota kelahiran saya karena idealisme.
Semasa menjadi gadis kota, saya merasa hidup ini sangat mudah. Saya
bisa meraih hal yang saya mau, saya hanya perlu memikirkan diri saya sendiri,
seperti keperluan-keperluan pribadi saya. Saya bisa juga berkontribusi untuk
keluarga saya karena pendapatan saya di dua tahun terakhir sangat berlebih.
Dalam hidup saya, skill menjadi modal saya untuk mendapatkan pemasukan lebih.
Hobi saya sangat hemat, tidur siang, nonton drakor dan baca buku. Jadi tidak
perlu banyak uang untuk menyenangkan diri.
Singkat cerita, karena idealisme, saya kembali ke
kota kelahiran dan melakukan ini dan itu. Saya tahu konsekuensinya dan tidak pernah
menyesalinya. Konsenkuensinya, pemasukan berkurang sangat jauh, tetapi kepuasan
batin terpenuhi. One day, I can proudly
say, Vany was here.
Kota asal saya adalah sebuah kota dengan jumlah
penduduk kurang lebih 247.018 jiwa menurut data Dinas Kependudukan dan Capil
tahun 2014. Tentu sangat jauh jika dibandingkan dengan DKI Jakarta yang
memiliki jumlah penduduk kurang lebih 10 juta jiwa pada 2014 yang lalu.
Kehidupan sebagai seorang wanita lajang yang saya
rasakan di kota ini sangat menantang. Apalagi saya sebagai anak pertama, punya evil step mother, bapak sudah pensiun,
dan seorang adik yang sedang berkuliah. Pendapatan saya yang mepet UMR
mengajarkan saya menjadi wanita yang tidak egois dan berpikir untuk keluarga.
Bahkan untuk membeli pakaian atau make up,
tidak seleluasa saat di kota besar. Saya harus pandai pandai berhitung dan
menimbang apakah kebutuhan rumah tercukupi atau tidak.
Loh, kan ada Bapak dan evil step mother? Eits, sabar dulu boss. I tell you the
situasioong.
Bapak sudah pensiun, beliau mungkin ada pinjaman di bank sehingga uang
pensiunnya tidak seberapa dan masih mengirimkan untuk adik yang sedang
berkuliah. Memang adik saya beasiswa, tetapi kebutuhan hidupnya tetap
ditanggung sendiri. Kuliahnya aja yang gratis.
Sedangkan, evil step mother, dari
julukannya tidak perlu dijelaskan lah ya. Sudah pada ngerti sendiri. Dia tidak
berkontribusi. Kalau dia berkontribusi, biar dikit, itu akan diumbar-umbar dan
disebut berkali-kali. Pengen gue tonjok aja mukanya. Trust me, ini hanya ungkapan kekesalan tapi tidak saya lakukan.
Thanks God, karena skill, saya mampu menjalani semuanya bahkan menabung. Memang benar,
punya teman yang oke dan keteguhan hati memampukan kita untuk melewati banyak
hal.
Kembali tentang suka duka gadis kota kecil.
Kalau dulu, pulang kerja terserah dan mau ngapain, apalagi weekend, suka-suka
dah. Sekarang:
- · pagi kerja,
- · siang pulang singgah pasar,
- · sampai rumah biar badan remuk harus masak dulu,
- · selesai masak makan dooong,
- · beri makan anjing
- · bantuin Bapa angkat padi yang dijemur,
- · tidur siang atau lebih tepatnya tidur sore, cape buuuu...
- · masak untuk makan malam,
- · ambil tulang untuk makanan anjing,
- · makan malam,
- · beri makan anjing,
- · kerjakan sedikit pekerjaan sekolah atau nonton televisi,
- · tidur.
Keliatannya tidak penting ya?
Tapi percayalah, semua ini sangat penting.
Setelah
pulang dan tinggal di rumah, mata saya jadi lebih terbuka bahwa banyak hal yang
perlu dibantu di rumah. Ini bukan tentang diri sendiri lagi. Tidak ada waktu
untuk memikirkan mimpi dan hal hal abstrak lainnya. Berjudi dengan hidup.
Nyata,
itu kata favorit saya. Memastikan listrik selalu ada, air mengalir, beras
selalu ada, lauk pauk selalu ada, minyak tanah dan bensin ada, bumbu dapur dan
minyak goreng ada, menjadi fokus saya.
Memastikan Bapa terawat dengan baik, kesehatan
dan kebutuhannya, menjadi fokus saya.
Durhakalah saya jika saya tidak merawatnya di
masa tuanya. Di saat ia sudah lemah dan lanjut usia.
Seperti halnya anak kecil, saya harus kembali
mengingatkan Bapa untuk mengganti pakaiannya, memastikan ia pergi ke suatu
acara dengan pakaian rapi, menyiapkan minum pagi dan sorenya, menyiapkan
makanan tepat waktu agar ia sehat.
Saya tidak punya waktu untuk terlalu banyak berkontribusi bagi
komunitas-komunitas yang ada di sekitar saya, saya sudah melakukannya saat usia
awal 20an. Cukuplah dan puaslah saya. Sekarang saatnya berbakti pada orang tua.
Saya pun telah
sampai pada tahap, saya cemas dengan hari pernikahan saya kelak, dimana sebagai
seorang wanita, saya harus mengikuti calon suami saya ke kota tempatnya
bekerja. Itu artinya meninggalkan satu-satunya orang tua saya. Setiap kali
mengingat hal ini saya sedih. Mengapa? Karena saya khawatir akan kesehatannya,
siapa yang akan mengurus segala kebutuhannya. Akankah ia makan tepat waktu?
Akankah ada yang mencuci dan menyetrika baju untuknya? Akankah ada yang
memperhatikannya saat ia sakit?
Setiap hari, saya berusaha pulang kerja tepat
waktu. Saya tidak akan lembur kecuali sangat terpaksa, agar bapak bisa makan
tepat waktu. My evil step mother juga
seorang guru, tetapi ia selalu pulang sore. Padahal pekerjaan kita sama dan
tanggung jawab pun sama bahkan saya mungkin lebih. Jika ia pulang kerja, ia
tidak memikirkan apakah bapak saya sudah makan atau belum. Dia akan langsung
masuk kamar dan tidur. Kalau saja tindakan kriminal itu legal, mungkin dia
sudah lewat dari dulu.
Harapan saya, buat wanita-wanita di luar sana,
dengan keadaan keluarga yang mungkin hampir mirip dengan saya, berbaktilah
sebelum habis waktumu.
Comments
Post a Comment