Meja itu, tidak ada yang spesial dari bentuknya ataupun apa yang tersaji di atasnya. Meja itu spesial karena kenangan dan warisan moralnya. Meja itu begitu magis hingga mampu memberikan kesan yang kuat pada setiap orang yang pernah merasakan kehangatannya. Kehangatan yang tercipta dari setiap tubuh yang mengelilinginya di waktu santap bersama, dahulu kala...
Dahulu kala, waktu yang keramat bagi setiap keluarga adalah waktu sarapan, makan siang, dan makan malam. Begitu teratur. Penuh nuansa kebersamaan yang tidak mampu ditolak. Mungkin bagi kebanyakan orang jaman sekarang, yang mengaku manusia moderen, hal ini terkesan kuno. Tidak sesuai jaman. Tetapi bagi saya, hal ini adalah salah satu hal terbaik yang perlu dimiliki oleh sebuah keluarga.
Saya masih mengingat jelas dan merindukan saat-saat di meja makan. Setiap pagi, sebelum kami berangkat ke sekolah dan Bapa ke kantor, aroma teh hangat semerbak di ruang makan. Mama akan memanggil kami untuk menyeruput teh hangat dan bubur (kalau ada) sebagai sarapan kami. Sederhana, tetapi aromanya masih terekam baik dan sekali-kali teringat setiapku melintasi ruang makan sepi ini.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, pukul 12.00 siang adalah waktu makan siang. Bagi keluarga kami, yang semuanya sekolah dan bekerja, pukul 14.00 adalah waktu makan siang. Saat semua telah pulang dari keriuhan kantor dan sekolah. Apalagi buat saya yang gemar berjalan kaki sepulang sekolah di bawah matahari Sumba yang begitu terik, meja makan itu mengitu mempesona.
Dari segi menu tidak ada yang spesial. Makanan sehari-hari kami hanyalah nasi, sayur sawi yang kami sebut sayur putih dan ikan tembang goreng. Variasinya hanya di menu sayuran, cara memasaknya dan menu ikannya. Kadang-kadang saat ada yang berulang tahun, kami makan daging ayam atau daging babi. Tetapi saat saat duduk bersama di meja makan, berdoa makan bersama, lalu prosesi makannya itu sendiri yang sangat spesial dan mahal bagi saya, jika dibandingkan dengan situasi keluarga saat ini.
Mama akan memulai dengan menyodorkan tempat nasi pertama kali kepada Bapa sebagai kepala keluarga. Bukan berarti wanita dan anak-anak lebih rendah, tetapi sebagai wujud penghormatan kepada kepala keluarga. Setelah orang tua mengambil bagian, barulah anak-anak dipersilakan untuk mengambil bagian dan kami semua makan bersama-sama. Saya melihat ada pelajaran karakter dalam kegiatan keluarga seperti ini. Bagaimana kita belajar tertib waktu, mengucap syukur kepada Tuhan, menghormati yang lebih tua, belajar bersabar, dan tata krama. Ya, tata krama. Kami dilarang berbicara saat mengunyah makanan dan membunyikan piring dan sendok saat makan. Kami diajarkan untuk mengambil makanan secukupnya, jika kurang baru menambah agar tidak membuang-buang makanan. Istilah mama saya, “kamu jangan makan seperti tidak ada hari esok.” Artinya, jangan rakus. Lalu kami juga belajar berbagi. Bagaimana caranya agar makanan cukup dan sama rata bagi setiap anggota keluarga. Begitu pula saat makan malam yang biasanya kami lakukan pada pukul 20.00 WITA.
Jika saya melihat kondisi lingkungan jaman sekarang, dimana segalanya membutuhkan waktu, saya meragukan tradisi ini masih dilakukan oleh keluarga muda jaman sekarang. Bahkan di rumah saya pun tidak,sejak mama wafat. Tidak ada lagi orang tua bekerja yang menyempatkan waktu untuk makan bersama keluarga. Masing-masing makan sendiri-sendiri. Kalaupun bersama di rumah, makannya tidak di meja makan tetapi di depan televisi. Tidak ada lagi suasana meja makan yang khidmat dan hangat. Semua dengan caranya masing-masing. Saya merasa beruntung masih dapat menikmati kemewahan makan bersama keluarga. Ya, saya menyebutnya kemewahan. Karena waktu yang disediakan orang tua dan anak untuk duduk bersama di satu meja makan yang mungkin hanya butuh waktu 15-20 menit adalah hal yang langka dan mewah di jaman sekarang. Saya berharap, keluarga kecil saya kelak dapat merasakan kemewahan itu. Dan artinya, saya harus belajar masak!! CATAT ITU VAN!! Untuk segala sesuatu harus ada harga yang dibayar.
Dahulu kala, waktu yang keramat bagi setiap keluarga adalah waktu sarapan, makan siang, dan makan malam. Begitu teratur. Penuh nuansa kebersamaan yang tidak mampu ditolak. Mungkin bagi kebanyakan orang jaman sekarang, yang mengaku manusia moderen, hal ini terkesan kuno. Tidak sesuai jaman. Tetapi bagi saya, hal ini adalah salah satu hal terbaik yang perlu dimiliki oleh sebuah keluarga.
Saya masih mengingat jelas dan merindukan saat-saat di meja makan. Setiap pagi, sebelum kami berangkat ke sekolah dan Bapa ke kantor, aroma teh hangat semerbak di ruang makan. Mama akan memanggil kami untuk menyeruput teh hangat dan bubur (kalau ada) sebagai sarapan kami. Sederhana, tetapi aromanya masih terekam baik dan sekali-kali teringat setiapku melintasi ruang makan sepi ini.
Bagi masyarakat Indonesia pada umumnya, pukul 12.00 siang adalah waktu makan siang. Bagi keluarga kami, yang semuanya sekolah dan bekerja, pukul 14.00 adalah waktu makan siang. Saat semua telah pulang dari keriuhan kantor dan sekolah. Apalagi buat saya yang gemar berjalan kaki sepulang sekolah di bawah matahari Sumba yang begitu terik, meja makan itu mengitu mempesona.
Dari segi menu tidak ada yang spesial. Makanan sehari-hari kami hanyalah nasi, sayur sawi yang kami sebut sayur putih dan ikan tembang goreng. Variasinya hanya di menu sayuran, cara memasaknya dan menu ikannya. Kadang-kadang saat ada yang berulang tahun, kami makan daging ayam atau daging babi. Tetapi saat saat duduk bersama di meja makan, berdoa makan bersama, lalu prosesi makannya itu sendiri yang sangat spesial dan mahal bagi saya, jika dibandingkan dengan situasi keluarga saat ini.
Mama akan memulai dengan menyodorkan tempat nasi pertama kali kepada Bapa sebagai kepala keluarga. Bukan berarti wanita dan anak-anak lebih rendah, tetapi sebagai wujud penghormatan kepada kepala keluarga. Setelah orang tua mengambil bagian, barulah anak-anak dipersilakan untuk mengambil bagian dan kami semua makan bersama-sama. Saya melihat ada pelajaran karakter dalam kegiatan keluarga seperti ini. Bagaimana kita belajar tertib waktu, mengucap syukur kepada Tuhan, menghormati yang lebih tua, belajar bersabar, dan tata krama. Ya, tata krama. Kami dilarang berbicara saat mengunyah makanan dan membunyikan piring dan sendok saat makan. Kami diajarkan untuk mengambil makanan secukupnya, jika kurang baru menambah agar tidak membuang-buang makanan. Istilah mama saya, “kamu jangan makan seperti tidak ada hari esok.” Artinya, jangan rakus. Lalu kami juga belajar berbagi. Bagaimana caranya agar makanan cukup dan sama rata bagi setiap anggota keluarga. Begitu pula saat makan malam yang biasanya kami lakukan pada pukul 20.00 WITA.
Jika saya melihat kondisi lingkungan jaman sekarang, dimana segalanya membutuhkan waktu, saya meragukan tradisi ini masih dilakukan oleh keluarga muda jaman sekarang. Bahkan di rumah saya pun tidak,sejak mama wafat. Tidak ada lagi orang tua bekerja yang menyempatkan waktu untuk makan bersama keluarga. Masing-masing makan sendiri-sendiri. Kalaupun bersama di rumah, makannya tidak di meja makan tetapi di depan televisi. Tidak ada lagi suasana meja makan yang khidmat dan hangat. Semua dengan caranya masing-masing. Saya merasa beruntung masih dapat menikmati kemewahan makan bersama keluarga. Ya, saya menyebutnya kemewahan. Karena waktu yang disediakan orang tua dan anak untuk duduk bersama di satu meja makan yang mungkin hanya butuh waktu 15-20 menit adalah hal yang langka dan mewah di jaman sekarang. Saya berharap, keluarga kecil saya kelak dapat merasakan kemewahan itu. Dan artinya, saya harus belajar masak!! CATAT ITU VAN!! Untuk segala sesuatu harus ada harga yang dibayar.
Comments
Post a Comment