-->
picts taken from google images
There were two things i loved more than anything in this
world. Running and math. My dad is mathematician. Loving math means loving my
dad.
Ada seorang anak
yang sangat mencintai matematika. Darimana rasa cinta pada mata pelajaran yang
dianggap rumit ini tumbuh? Dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang matematikawan
dan anak ini mendapatkan rasa aman dan nyaman dari angka-angka. Ia bahkan
mengetuk-ngetukkan buku jarinya ketika gugup. Setiap ketukan memiliki arti
dalam bentuk angka.
Suatu hari, ayah
yang sangat diidolakan dan dicintainya jatuh sakit. Lebih mirip penyakit
mental. Anak ini begitu sedih. Dia membuat suatu perjanjian dengan alam semesta,
bahwa ia akan memberikan/berhenti melakukan semua yang ia sukai dengan syarat
ayahnya akan kembali normal.
Ia berhenti
mengonsumsi cemilan, ke bioskop, berteman, dia bahkan berhenti berlari. Ia
mengekang semua keinginannya. Ketika ia mulai menyukai sesuatu, ia berusaha
menghancurkannya sendiri. Satu-satunya hal yang tak dapat diacuhkannya adalah
angka. Baginya, angka adalah harapan. Anak ini terus bertumbuh dalam
kesendiriannya, kesepiannya, sampai suatu waktu ibunya berusaha untuk
membuatnya kembali ke dunia nyata. Ia diusir dari rumahnya agar memiliki teman
dan pekerjaan. Hidup layaknya orang yang lain.
Memang tidak mudah
pada awalnya. Tetapi lama-kelamaan ia mulai terbiasa. Semuanya berkat
kesempatan yang didapatkannya untuk menjadi guru matematika di sebuah sekolah
dasar. Mulanya ia tidak yakin bahwa ia dapat menjadi seorang guru. Namun ada
suatu kalimat bagus yang diucapkan kepala sekolah kepadanya:
No one is a teacher until they are a teacher
Hari-hari menjadi
seorang guru matematika pun dimulai. Di hari pertamanya sebagai guru, ia
menyadari bahwa kelasnya mengajar, dahulu adalah kelasnya diajar. Ia memiliki
seorang guru matematika yang sangat disukainya, seorang guru yang setiap hari
selalu menggunakan kalung berbandul angka. Angka pada bandulnya akan tinggi
bila perasaannya sedang baik dan sebaliknya.
Ketika menjadi seorang guru, hal-hal yang
disukainya dari matematika ditransfernya kepada murid-muridnya. Dimulai dengan
mendekorasi ruang kelas dengan angka berwarna-warni, aneka kreasi dan
lucu-lucu. Angka terlihat bergitu menyenangkan di kelasnya. Begitu pun berbagai
simbol dalam matematika dibentuknya menjadi benda-benda dekorasi dalam kelas.
Ketika mengajar, pencinta
matematika yang disapa Ms. Gray ini memulai dengan sebuah permainan. Contohnya
permainan sederhana seperti menyebutkan nama dengan angka favorit mereka.
Kemudian dua sukarelawan dari murid akan ditunjuk maju ke depan dan membentuk
tubuh seperti angka kesukaan mereka. Contohnya Levan =1 dan Susan = 7. Berapa
jumlah Susan ditambah Levan? Jawabannya adalah 8. Kemudian ia akan bertanya di
depan kelas siapa yang ingin menjadi angka 8 dan siapa yang ingin menjadi tanda
tambah. Permainan berhitung yang menyenangkan bukan? Ia menamainya, Penjumlahan
Manusia.
Ms. Gray mulai
menemukan keceriannya melalui mengajar.
Seorang anak
terlihat mulai menyukai matematika, namanya Lisa Venus. Pada suatu Jumat, ia
datang dengan kepala bermahkota plastik rakitannya sendiri. Ia menyebutnya
sebagai perwujudan angka nol. Ada suatu argumen yang menarik disini:
Ann: It is not from nature, it’s a man made
Levan: Plastik is a man made, and man come from nature
Lisa: yes, that’s right.
Lisa kemudian
menjelaskan mengenai keistimewaan angka nol. Semua angka yang dikalikan dengan
0 hasilnya 0. Semua angka yang dijumlahkan atau dikurangi dengan 0 hasilnya,
bilangan itu sendiri.
Anak-anak berebutan
ketika ditanya siapa yang ingin maju ke depan dan menceritakan angka yang
ditemukannya dari alam Jumat depan.
Banyak hal menarik
yang bisa kita amati dalam film ini. Terutama bagi seorang guru. Bagaimana
membuat suatu mata pelajaran menjadi menarik bagi anak-anak. Kita juga akan
melihat bagaimana seru dan menyenangkannya belajar sains di film ini.
Hal yang saya
pelajari dari film ini adalah sebagai berikut:
Apa yang dicintai
atau dibenci seorang anak merupakan refleksi dari apa yang ia lihat pada diri
orang tuanya, atau salah satu orang tua terdekatnya. Bila anak Anda tidak
menyukai matematika atau suatu hal tertentu, dan Anda tidak mengoreksi diri
sebelum memarahinya dan mencecarnya dengan berbagai nasihat, maka Anda adalah
orang tua yang egois.
Bagi para guru,
rasa cinta anak terhadap suatu mata pelajaran juga tergantung di tangan kita.
Bila kita mencintai bahan yang kita ajarkan, mengemasnya menjadi sesuatu yang
menyenangkan, menunjukkan kecintaan kita terhadap mata pelajaran itu, maka
anak-anakpun akan tertular rasa cinta itu. Mereka bukan bodoh, tetapi mereka
butuh dipikat.
Comments
Post a Comment